Jumat, 22 Juli 2016

Fenomena Pernikahan Usia Dini di Indonesia




Kejadian pernikahan usia dini di Indonesia telah menjadi fenomena tersendiri. Berdasarkan data UNDESA (2011), Indonesia termasuk negara dengan persentase pernikahan usia muda tinggi di dunia (ranking 37). Posisi ini merupakan yang tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja. Pada kenyataannya menurut data RISKESDAS (2010),  perempuan muda di Indonesia dengan interval usia 10-14 tahun yang telah menikah terdapat sebanyak 0.2 persen atau lebih dari 22.000 wanita muda berusia 10-14 tahun di Indonesia sudah menikah sebelum usia 15 tahun. Pada interval usia yang lebih  tinggi,  perempuan muda berusia 15-19 yang telah menikah memiliki angka 11,7% jauh  lebih  besar jika dibandingkan dengan laki-laki muda berusia 15-19 tahun sejumlah 1,6 %. Sementara untuk interval usia diantara kelompok umur perempuan 20-24 tahun ditemukan bahwa lebih dari 56,2 persen sudah menikah.
Provinsi dengan persentase perkawinan dini (<15 th) tertinggi adalah Kalimantan Selatan (9 persen), Jawa Barat (7,5 persen), serta Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah masing-masing 7 persen dan Banten 6,5 Persen. Sementara Provinsi dengan persentase perkawinan dini untuk interval 15-19 tahun  tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Tengah (52,1%), Jawa Barat (50,2 persen), serta Kalimantan Tengah (52,1%), Jawa Barat (50,2 persen), serta Kalimantan Selatan (48,4%), Bangka Belitung (47,9%) dan Sulawesi Tengah (46,3).
Tingginya kejadian penikahan usia dini merupakan suatu masalah. Perlu disadari bahwa pernikahan  dini  merupakan  gambaran  rendahnya  kualitas kependudukan dan menjadi fenomena tersendiri di masyarakat. Akibat yang timbul  dari pernikahan dini di tingkat keluarga beragam dan berdampak langsung pada kesejahteraan keluarga. Akibat dari pernikahan dini sangat terkait erat dengan kesejahteraan perempuan  muda  yang  mengalaminya.  Mereka  setelah  menikah cenderung mengalami drop out dari sekolah dan memperoleh tingkat pendidikan yang rendah, status sosial yang menurun atau subordinasi dalam keluarga, hilangnya hak kesehatan reproduksi, tingginya peluang kematian ibu akibat melahirkan di usia muda hingga kekerasan dalam rumah tangga.
Periode remaja adalah sebuah masa transisi baik dari segi fisik maupun psikis yang menjadi periode di dalam kehidupan setiap manusia. Secara fisik,  periode ini  ditandai dengan munculnya pubertas, yaitu mulai aktifnya seorang remaja secara seksual, munculnya pertumbuhan dan perubahan fisik yang cepat dan munculnya ketertarikan terhadap lawan jenis baik secara fisik maupun seksual (Lahey, 2004). Dari segi psikis, periode remaja adalah sebuah periode transisi dari kanak-kanak menuju dewasa. Hal ini bukanlah sebuah proses yang terpisah dengan proses sebelumnya, melainkan sebuah tahapan lebih lanjut dari masa kanak-kanak untuk mempersiapkan kematangan menuju masa dewasa. Dalam periode remaja ini,  terjadi pembentukan pola perilaku dan proses pencarian jati  diri, sehingga periode ini  seringkali ditandai dengan munculnya instabilitas emosi. Periode remaja adalah sebuah periode persiapan menuju dewasa, salah satunya adalah persiapan psikis terkait dengan pernikahan dan pembentukan keluarga (Hurlock, 1999).
Pernikahan dini di Indonesia penting menjadi perhatian mengingat batasan umur minimal untuk menikah yang telah disetujui dunia internasional adalah 18 tahun sedangkan di Indonesia 16 tahun untuk wanita. Hal ini tentu menjadi momok tersendiri sebagai pemicu terjadinya penikahan usia dini. Beberapa kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk menanggulangi isu pernikahan dini yang terjadi demi meningkatkan standar hidup perempuan muda di Indonesia. Isu  pernikahan dini seringkali terkait dengan isu  kesehatan reproduksi dan kesetaraan gender juga menjadi prioritas Pemerintah Indonesia yang tercermin di dalam kebijakan umum yaitu menempatkan upaya kesehatan reproduksi menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional. Hal ini bertujuan untuk membekali para remaja tentang kesehatan reproduksi sehingga mereka lebih memahami tentang fungsi reproduksinya dan lebih bijak dalam menjalankan fungsi reproduksinya dalam upaya pembangunan nasional. Kedua, yaitu menggunakan pendekatan keadilan dan kesetaraan gender di semua upaya kesehatan reproduksi. Hal ini bertujuan agar terdapat persamaan gender dapat segala aspek kesehatan reproduksi utamanya kesamaan untuk mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi.