Kamis, 25 Agustus 2016

URBANISASI




Sebagai negara kepulauan paling besar di dunia, ternyata persebaran pendududuk Indonesia secara historis terkonsentrasi di Pulau Jawa yang luas wilayahnya hanya sekitar 7 persen dari keseluruhan wilayah Indonesia. Salah satu perubahan dalam dimensi persebaran penduduk yang mencolok di Indonesia adalah yang berkaitan dengan apa yang disebut sebagai urbanisasi. Urbanisasi secara demografis diartikan sebagai semakin besarnya jumlah penduduk sebuah negara di wilayah yang disebut sebagai daerah perkotaan (urban areas). Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 separuh (50 persen) penduduk Indonesia telah tinggal di daerah perkotaan.
Urbanisasi adalah proporsi penduduk, dari keseluruhan jumlah penduduk di sebuah negara, yang tinggal di perkotaan. Proses urbanisasi, secara umum dipengaruhi oleh tiga aspek. Pertama adalah akibat pertumbuhan alamiah akibat fertilitas dan mortalitas dari penduduk kota itu sendiri. Kedua adalah akibat pertambahan net-migrasi, antara migrasi masuk dan keluar; yang umumnya menunjukkan positive net-migration. Ketiga adalah akibat dari proses reklasifikasi dari daerah-daerah “per-urban” di sekitar kota yang dianggap tidak lagi sebagai daerah perdesaan, dan secara administratif diputuskan untuk menjadi bagian dari wilayah perkotaan.
   Urbanisasi terjadi karena meningkatnya proporsi penduduk yang menghuni di daerah perkotaan–terutama disebabkan oleh perpindahan penduduk dari desa ke kota. Dari studi kepustakaan diketahui bahwa sejak zaman kolonial sampai akhir tahun 70-an perpindahan penduduk di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu Pertama adalah perpindahan penduduk ke daerah perkebunan, ini terutama terjadi pada masa kolonial. Kedua adalah perpindahan penduduk yang bersifat ”internasional”, yang jumlahnya relatif terbatas. Ketiga adalah perpindahan dari daerah pedesaan ke daerah pedesaan lainnya atas bantuan pemerintah, pada masa kolonial disebut kolonisasi dan setelah kemerdekaan dinamakan transmigrasi. Keempat adalah perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke perkotaan, baik yang bersifat permanen maupun yang nonpermanen (sirkuler atau ulang-alik). Kelima adalah perpindahan penduduk yang bersifat ”tradisional” atau sering juga disebut sebagai ”merantau” yang dilakukan misalnya oleh Orang Minangkabau, Orang Bugis, Orang Banjar, dan Orang Madura.
          Perpindahan penduduk dari desa ke kota, berhubungan erat dengan perubahan sosial yang terjadi di daerah pedesaan setelah diperkenalkannya berbagai bentuk teknologi baru. Selain itu perhatian pemerintah Indonesia pada perbaikan sarana-sarana publik, terutama jalan raya, kereta api, pelabuhan, dan lapangan terbang. Dalam bidang sosial, perhatian pemerintah pusat adalah pada perbaikan sarana pendidikan, dimana program wajib belajar merupakan prioritas penting. Selain di bidang pendidikan, pemerintah juga melakukan peningkatan di bidang pelayanan kesehatan masyarakat dan mengkampanyekan program keluarga berencana. Masyarakat di daerah pedesaan di Jawa seolah-olah mengalami ”revolusi mental” karena banyaknya program-program ”pembangunan” baru, yang mereka terima secara langsung maupun melalui radio dan televisi yang merambah desa-desa bersamaan dengan diperluasnya jaringan listrik ke berbagai pelosok Jawa.  Perbaikan jalan dan saluran komunikasi, disatu sisi dan meningkatnya aspirasi masyarakat akibat pendidikan disisi lain; tak pelak lagi telah mengakibatkan ”pasang naik” aspirasi masyarakat akan pekerjaan yang lebih baik dan kesejahteraan ekonomi yang lebih memadai.

Tingginya tingkat urbanisasi di kota-kota ini hampir bisa dipastikan disebabkan oleh tingginya migrasi masuk dari wilayah sekitarnya yang masih bersifat pedesaan. Migrasi penduduk dari daerah pedesaan ke perkotaan secara sederhana bisa dikarenakan oleh dua sebab: pertama, karena semakin sempitnya lapangan kerja di desa, dan kedua, karena kota menjanjikan adanya lapangan pekerjaan. Mengalirnya penduduk dari desa ke kota oleh karena itu tidak secara otomatis berarti meningkatnya kesejahteraan penduduk. Bahkan sebaliknya bisa terjadi, dimana semakin banyaknya penduduk desa yang pindah ke kota berarti semakin menurunnya tingkat kesejahteraan penduduk. Urbanisasi karena itu justru berarti peningkatan penduduk miskin di kota. Kenyataan inilah yang menimbulkan dugaan bahwa urbanisasi ternyata tidak berjalan seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Dengan kata lain yang terjadi adalah urbanisasi yang tanpa pertumbuhan.
Beberapa implikasi yang perlu mendapatkan perhatian yang serius dari para perencana maupun pengambil kebijakan sehubungan dengan proses urbanisasi dan perkembangan perkotaan di Indonesia yaitu:
1.      Secara ekonomis semakin terkonsentrasinya penduduk di daerah perkotaan akan mendorong kebutuhan akan kesempatan kerja di sektor industry dan jasa. Kebutuhan akan kesempatan kerja di daerah perkotaan akan menjadi semakin mendesak karena struktur umur penduduk yang didominasi oleh mereka yang berusia muda. Saat ini secara demografis Indonesia dikatakan memiliki bonus demografi dan window of opportunity yang perlu mendapatkan perhatian secara sungguh-sungguh, khususnya dari para penyelenggara negara. Kegagalan dalam menyerap tenaga kerja di daerah perkotaan akan memiliki dampak sosial dan politik yang serius.
2.      Berbagai isu global yang berkaitan dengan lingkungan hidup diduga akan semakin kuat imbasnya bagi Indonesia. Proses urbanisasi dan ekspansi wilayah perkotaan dipastikan akan semakin berdampak pada berkurangnya lingkungan persawahan dan wilayah hijau pada umumnya.  Secara umum daya dukung lingkungan akan semakin memburuk. Selain itu, tanpa adanya perencanaan tata-ruang yang baik disertai perencanaan social-ekonomi yang memadai persoalan pemukiman, persoalan transportasi dan wilayah-wilayah kumuh akan semakin tidak terkendali perkembangannya. Dampak perubahan iklim dan pemanasan global yang semakin luas disadari di negara-negara maju seringkali terlambat disadari di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Advokasi akan perlunya peningkatan kesadaran penduduk, khususnya di daerah perkotaan tentang berbagai dampak negative dari menurunnya kondisi lingkungan haruslah menjadi agenda politik yang perlu ditangani secara serius baik oleh pemerintah, pihak swasta maupun kalangan masyarakat sendiri.  Kegagalan dalam melakukan hal ini hampir bisa dipastikan akan menjadi lingkungan hidup di perkotaan Indonesia menjadi unlivable dan unsustainable di masa depan.
Untuk menghindari terjadinya skenario masa depan yang buruk ini, beberapa langkah dapat dilakukan yaitu:
1.      Pada level provinsi dan kabupaten, sejalan dengan perkembangan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, sudah waktunya disadari oleh para pimpinan pemerintah daerah bahwa perencanan pengembangan perkotaan tidak mungkin dilakukan secara sendiri-sendiri karena arus barang, modal dan tenaga kerja akan bersifat ‘borderless” dan tidak bisa diasumsikan bisa dikontrol secara sepihak oleh masing-masing daerah. Untuk mencapai distribusi modal, barang dan tenaga kerja yang dapat memberikan dampak positif bagi semua pihak, kerjasama antar daerah yang sejauh ini telah berkembang, perlu ditingkatkan kinerjanya, khususnya dalam bentuk kerjasama-kerjasama regional yang bersifat win-win solution. Upaya Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk mengajak pimpinan daerah di wilayah Jabodetabek adalah contoh yang baik dari upaya semacam ini.
2.      Berkembangnya ekonomi pasar dan globalisasi informasi, telah menjadikan masyarakat, terutama kelas menengah di daerah perkotaan semakin kritis terhadap berbagai isu social, politik dan lingkungan yang jika tidak diatasi akan membahayakan bagi kelangsungan hidup mereka dan generasi yang akan datang. Berbagai gerakan social masyarakat telah tumbuh menjamur di berbagai kota di Indonesia. Sekedar sebagai contoh, hampir disetiap kota besar selalu diberlakukan “car free day” yang memperlihatkan mulai tumbuhnya tentang kesadaran dan tuntutan warga kota akan lingkungan hidup perkotaan yang sehat. Komunikasi antara pemerintah kota, pihak swasta dan berbagai forum wargakota sudah saatnya dibuka dan dicari mekanisme yang paling efektif untuk mencari solusi-solusi alternatif secara bersama, dari berbagai problem perkotaan sebagai dampak kebijakan masa lalu dan antisipasi kedepan sebagai dampak dari berbagai perubahan yang akan terjadi (Saputra, 2013).