Berdasarkan proyeksi data penduduk
tahun 2010 menurut badan pusat statistik (BPS) indonesia, di tahun 2015 jumlah
penduduk indonesia mencapai 255.461 ribu jiwa. Dari jumlah tersebut, sepertiganya adalah penduduk remaja yang berusia 10-24
tahun. Masalah yang paling besar dialami oleh remaja indonesia saat ini adalah banyaknya seks
pranikah yang berujung pada pernikahan
usia dini. Data Riset Kesehatan Dasar 2010 menunjukkan, angka pernikahan usia
dini (19 tahun ke bawah) 46,7 persen. Bahkan, perkawinan di kelompok umur 10-14
tahun hampir 5 persen. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012
menyebutkan, 12,8 persen perempuan usia 15-19 tahun sudah menikah. Pernikahan
remaja terbanyak terjadi di pedesaan pada perempuan berstatus pendidikan rendah
dan berasal dari keluarga berstatus ekonomi rendah (health.kompas.com). Hasil
SDKI 2012 menyebutkan di perkotaan terdata dari 1.000 orang remaja usia 15-19
tahun, 48 orang diantaranya sudah melahirkan. Sementara di pedesaan, dari 1.000
remaja usia 15-19 tahun, ada 60 orang yang sudah memiliki anak
(lampung.tribunnews.com).
Hal ini seringkali disebabkan oleh maraknya seks pranikah dikalangan remaja yang dilatarbelakangi rasa ingin
tahu dan tanpa berbekal informasi seputar
kesehatan reproduksi. Sehingga remaja cenderung akan mencari informasi di internet yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya serta mengakses video porno yang bisa merangsang gairang untuk
melakukan seks bebas. Hal-hal seperti inilah yang menyebabkan terjadinya kehamilan
dan ikut menyumbang peningkatan angka kelahiran di Indonesia.
Disampaikan oleh
Kepala Badan Kependudukan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN), Surya Chandra Surapaty, di sela-sela perayaan Hari
Keluarga Nasional 2016 di Stadion Oepo, Kupang, Nusa Tenggara Timur, Kamis
(28/7/2016)
bahwa setiap remaja yang belum menikah sebaiknya
merencanakan masa depan
terlebih dahulu, seperti merencanakan pendidikan, cari kerja, baru
kemudian menikah. Jangan menikah sebelum usia 20
tahun, jangan lupa hindari seks pranikah dan narkoba.
Beliau
juga menekankan tentang peningkatan penerapan fungsi keluarga karena keluarga merupakan tempat anak membentuk karakter. Terdapat 8 fungsi keluarga yang terdiri
dari fungsi agama, sosial budaya, cinta dan kasih sayang, perlindungan,
reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi dan lingkungan. Apabila fungsi keluarga dilaksanakan dengan optimal, maka godaan anak untuk melakukan hal yang tidak-tidak seperti seks pranikah bisa dihindari.
Bukan tanpa alasan, Beliau menuturkan bahwa pada usia di bawah 20 tahun faktanya sel-sel
reproduksi wanita belum matang. Ini karena pada usia tersebut proses tumbuh
kembang masih terjadi. Hal ini tentu
akan mengintai calon ibu dan bayinya.
Pada masa hamil dapat terjadi keguguran karena kondisi rahim yang belum siap
sebagai tempat berkembangnya janin. Disamping itu resiko bayi lahir dengan
berat badan rendah sampai kecacatan cukup tinggi. Pada saat persalinan dapat
terjadi perdarahan dan tak jarang terjadi kematian ibu. Setelah bersalin ibu
dapat mengalami depresi postpartum karena di usia yang masih muda sudah harus
mengurusi bayi dan melakukan pekerjaan rumah.
"Sel reproduksi
juga kan perlu gizi cukup, terutama wanita. Jika dibebani untuk hamil dan
melahirkan padahal belum waktunya, tentu berdampak negatif bagi dia dan anaknya juga," ujar Beliau.
Oleh
karena itu agar tak 'kebablasan',
masyarakat dihimbau untuk menghindari seks pranikah dan menikah usia dini. Selain untuk menekan
jumlah kelahiran, juga dapat melindungi masa depan anak remaja agar dapat
menempuh pendidikan dengan baik dan mendapat pekerjaan yang layak untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan memandirikannya.