Kejadian pernikahan usia dini di Indonesia telah menjadi
fenomena tersendiri. Berdasarkan data UNDESA (2011), Indonesia termasuk negara
dengan persentase pernikahan usia muda tinggi di dunia (ranking 37). Posisi ini
merupakan yang tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja. Pada kenyataannya
menurut data RISKESDAS (2010), perempuan
muda di Indonesia dengan interval usia 10-14 tahun yang telah menikah terdapat
sebanyak 0.2 persen atau lebih dari 22.000 wanita muda berusia 10-14 tahun di
Indonesia sudah menikah sebelum usia 15 tahun. Pada interval usia yang
lebih tinggi, perempuan muda berusia 15-19 yang telah menikah
memiliki angka 11,7% jauh lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki muda
berusia 15-19 tahun sejumlah 1,6 %. Sementara untuk interval usia diantara
kelompok umur perempuan 20-24 tahun ditemukan bahwa lebih dari 56,2 persen
sudah menikah.
Provinsi dengan persentase perkawinan dini (<15 th)
tertinggi adalah Kalimantan Selatan (9 persen), Jawa Barat (7,5 persen), serta
Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah masing-masing 7 persen dan Banten 6,5
Persen. Sementara Provinsi dengan persentase perkawinan dini untuk interval
15-19 tahun tertinggi adalah Provinsi
Kalimantan Tengah (52,1%), Jawa Barat (50,2 persen), serta Kalimantan Tengah
(52,1%), Jawa Barat (50,2 persen), serta Kalimantan Selatan (48,4%), Bangka
Belitung (47,9%) dan Sulawesi Tengah (46,3).
Tingginya kejadian penikahan usia dini merupakan suatu
masalah. Perlu disadari bahwa pernikahan
dini merupakan gambaran
rendahnya kualitas kependudukan
dan menjadi fenomena tersendiri di masyarakat. Akibat yang timbul dari pernikahan dini di tingkat keluarga
beragam dan berdampak langsung pada kesejahteraan keluarga. Akibat dari
pernikahan dini sangat terkait erat dengan kesejahteraan perempuan muda
yang mengalaminya. Mereka
setelah menikah cenderung
mengalami drop out dari sekolah dan memperoleh tingkat pendidikan yang rendah,
status sosial yang menurun atau subordinasi dalam keluarga, hilangnya hak
kesehatan reproduksi, tingginya peluang kematian ibu akibat melahirkan di usia
muda hingga kekerasan dalam rumah tangga.
Periode remaja adalah sebuah masa transisi baik dari segi
fisik maupun psikis yang menjadi periode di dalam kehidupan setiap manusia.
Secara fisik, periode ini ditandai dengan munculnya pubertas, yaitu
mulai aktifnya seorang remaja secara seksual, munculnya pertumbuhan dan perubahan
fisik yang cepat dan munculnya ketertarikan terhadap lawan jenis baik secara
fisik maupun seksual (Lahey, 2004). Dari segi psikis, periode remaja adalah
sebuah periode transisi dari kanak-kanak menuju dewasa. Hal ini bukanlah sebuah
proses yang terpisah dengan proses sebelumnya, melainkan sebuah tahapan lebih
lanjut dari masa kanak-kanak untuk mempersiapkan kematangan menuju masa dewasa.
Dalam periode remaja ini, terjadi
pembentukan pola perilaku dan proses pencarian jati diri, sehingga periode ini seringkali ditandai dengan munculnya
instabilitas emosi. Periode remaja adalah sebuah periode persiapan menuju
dewasa, salah satunya adalah persiapan psikis terkait dengan pernikahan dan
pembentukan keluarga (Hurlock, 1999).
Pernikahan dini di Indonesia penting menjadi perhatian
mengingat batasan umur minimal untuk menikah yang telah disetujui dunia
internasional adalah 18 tahun sedangkan di Indonesia 16 tahun untuk wanita. Hal
ini tentu menjadi momok tersendiri sebagai pemicu terjadinya penikahan usia
dini. Beberapa kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk menanggulangi
isu pernikahan dini yang terjadi demi meningkatkan standar hidup perempuan muda
di Indonesia. Isu pernikahan dini
seringkali terkait dengan isu kesehatan
reproduksi dan kesetaraan gender juga menjadi prioritas Pemerintah Indonesia
yang tercermin di dalam kebijakan umum yaitu menempatkan upaya kesehatan
reproduksi menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional. Hal ini bertujuan
untuk membekali para remaja tentang kesehatan reproduksi sehingga mereka lebih
memahami tentang fungsi reproduksinya dan lebih bijak dalam menjalankan fungsi
reproduksinya dalam upaya pembangunan nasional. Kedua, yaitu menggunakan
pendekatan keadilan dan kesetaraan gender di semua upaya kesehatan reproduksi.
Hal ini bertujuan agar terdapat persamaan gender dapat segala aspek kesehatan
reproduksi utamanya kesamaan untuk mendapatkan informasi tentang kesehatan
reproduksi.