Sebagai negara kepulauan paling
besar di dunia, ternyata
persebaran
pendududuk Indonesia secara historis terkonsentrasi di Pulau Jawa yang luas
wilayahnya hanya sekitar 7 persen dari keseluruhan wilayah Indonesia. Salah
satu perubahan dalam dimensi persebaran penduduk yang mencolok di Indonesia
adalah yang berkaitan dengan apa yang disebut sebagai urbanisasi. Urbanisasi
secara demografis diartikan sebagai semakin besarnya jumlah penduduk sebuah
negara di wilayah yang disebut sebagai daerah perkotaan (urban areas). Berdasarkan
hasil Sensus Penduduk 2010 separuh (50 persen) penduduk Indonesia telah tinggal
di daerah perkotaan.
Urbanisasi adalah proporsi
penduduk, dari keseluruhan jumlah penduduk di sebuah negara, yang tinggal di
perkotaan. Proses
urbanisasi, secara umum dipengaruhi oleh tiga aspek. Pertama adalah akibat
pertumbuhan alamiah akibat fertilitas dan mortalitas dari penduduk kota itu
sendiri. Kedua adalah akibat pertambahan net-migrasi, antara migrasi masuk dan
keluar; yang umumnya menunjukkan positive
net-migration. Ketiga adalah akibat dari proses reklasifikasi dari
daerah-daerah “per-urban” di sekitar kota yang dianggap tidak lagi sebagai
daerah perdesaan, dan secara administratif diputuskan untuk menjadi bagian dari wilayah
perkotaan.
Urbanisasi
terjadi karena
meningkatnya proporsi penduduk yang menghuni di daerah perkotaan–terutama
disebabkan oleh perpindahan penduduk dari desa ke kota. Dari studi kepustakaan diketahui bahwa sejak zaman kolonial
sampai akhir tahun 70-an perpindahan penduduk di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi lima,
yaitu Pertama adalah
perpindahan penduduk ke daerah perkebunan, ini terutama terjadi pada masa
kolonial. Kedua
adalah perpindahan penduduk yang bersifat ”internasional”, yang jumlahnya
relatif terbatas. Ketiga adalah
perpindahan dari daerah pedesaan ke daerah pedesaan lainnya atas bantuan
pemerintah, pada masa kolonial disebut kolonisasi dan setelah kemerdekaan
dinamakan transmigrasi. Keempat
adalah perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke perkotaan, baik yang
bersifat permanen maupun yang nonpermanen (sirkuler atau ulang-alik). Kelima adalah perpindahan penduduk yang
bersifat ”tradisional” atau sering juga disebut sebagai ”merantau” yang
dilakukan misalnya oleh Orang Minangkabau, Orang Bugis, Orang Banjar, dan Orang
Madura.
Perpindahan penduduk dari desa
ke kota, berhubungan erat dengan perubahan sosial yang terjadi di daerah
pedesaan setelah diperkenalkannya berbagai bentuk teknologi baru.
Selain itu perhatian pemerintah Indonesia
pada perbaikan sarana-sarana publik, terutama jalan raya, kereta api,
pelabuhan, dan lapangan terbang. Dalam bidang sosial, perhatian pemerintah
pusat adalah pada perbaikan sarana pendidikan, dimana program wajib belajar
merupakan prioritas penting. Selain di bidang pendidikan, pemerintah juga
melakukan peningkatan di bidang pelayanan kesehatan masyarakat dan
mengkampanyekan program keluarga berencana. Masyarakat di daerah pedesaan di
Jawa seolah-olah mengalami ”revolusi mental” karena banyaknya program-program
”pembangunan” baru, yang mereka terima secara langsung maupun melalui radio dan
televisi yang merambah desa-desa bersamaan dengan diperluasnya jaringan listrik
ke berbagai pelosok Jawa. Perbaikan jalan dan saluran
komunikasi, disatu sisi dan meningkatnya aspirasi masyarakat akibat pendidikan
disisi lain; tak pelak lagi telah mengakibatkan ”pasang naik” aspirasi
masyarakat akan pekerjaan yang lebih baik dan kesejahteraan ekonomi yang lebih
memadai.
Tingginya
tingkat urbanisasi di kota-kota ini hampir bisa dipastikan disebabkan oleh
tingginya migrasi masuk dari wilayah sekitarnya yang masih bersifat pedesaan.
Migrasi penduduk dari daerah pedesaan ke perkotaan secara sederhana bisa
dikarenakan oleh dua sebab: pertama,
karena semakin sempitnya lapangan kerja di desa, dan kedua, karena kota menjanjikan adanya lapangan pekerjaan.
Mengalirnya penduduk dari desa ke kota oleh karena itu tidak secara otomatis
berarti meningkatnya kesejahteraan penduduk. Bahkan sebaliknya bisa terjadi,
dimana semakin banyaknya penduduk desa yang pindah ke kota berarti semakin
menurunnya tingkat kesejahteraan penduduk. Urbanisasi
karena itu justru berarti peningkatan penduduk miskin di kota. Kenyataan inilah
yang menimbulkan dugaan bahwa urbanisasi ternyata tidak berjalan seiring dengan
peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Dengan kata lain yang terjadi adalah
urbanisasi yang tanpa pertumbuhan.
Beberapa
implikasi yang perlu mendapatkan perhatian yang serius dari para perencana maupun
pengambil kebijakan sehubungan dengan proses urbanisasi dan perkembangan
perkotaan di Indonesia yaitu:
1.
Secara ekonomis semakin terkonsentrasinya penduduk di daerah perkotaan akan
mendorong kebutuhan akan kesempatan kerja di sektor industry dan jasa.
Kebutuhan akan kesempatan kerja di daerah perkotaan akan menjadi semakin
mendesak karena struktur umur penduduk yang didominasi oleh mereka yang berusia
muda. Saat ini secara demografis Indonesia dikatakan memiliki bonus demografi
dan window of opportunity yang perlu
mendapatkan perhatian secara sungguh-sungguh, khususnya dari para penyelenggara
negara. Kegagalan dalam menyerap tenaga kerja di daerah perkotaan akan memiliki
dampak sosial dan politik yang serius.
2.
Berbagai isu global yang berkaitan dengan lingkungan hidup diduga akan
semakin kuat imbasnya bagi Indonesia. Proses urbanisasi dan ekspansi wilayah
perkotaan dipastikan akan semakin berdampak pada berkurangnya lingkungan
persawahan dan wilayah hijau pada umumnya.
Secara umum daya dukung lingkungan akan semakin memburuk. Selain itu,
tanpa adanya perencanaan tata-ruang yang baik disertai perencanaan
social-ekonomi yang memadai persoalan pemukiman, persoalan transportasi dan
wilayah-wilayah kumuh akan semakin tidak terkendali perkembangannya. Dampak perubahan iklim dan
pemanasan global yang semakin luas disadari di negara-negara maju seringkali
terlambat disadari di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Advokasi akan perlunya
peningkatan kesadaran penduduk, khususnya di daerah perkotaan tentang berbagai
dampak negative dari menurunnya kondisi lingkungan haruslah menjadi agenda
politik yang perlu ditangani secara serius baik oleh pemerintah, pihak swasta
maupun kalangan masyarakat sendiri.
Kegagalan dalam melakukan hal ini hampir bisa dipastikan akan menjadi
lingkungan hidup di perkotaan Indonesia menjadi unlivable dan unsustainable
di masa depan.
Untuk
menghindari terjadinya skenario masa depan yang buruk ini, beberapa langkah dapat dilakukan yaitu:
1.
Pada level provinsi dan kabupaten, sejalan dengan perkembangan kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah, sudah waktunya disadari oleh para pimpinan
pemerintah daerah bahwa perencanan pengembangan perkotaan tidak mungkin
dilakukan secara sendiri-sendiri karena arus barang, modal dan tenaga kerja akan
bersifat ‘borderless” dan tidak bisa
diasumsikan bisa dikontrol secara sepihak oleh masing-masing daerah. Untuk
mencapai distribusi modal, barang dan tenaga kerja yang dapat memberikan dampak
positif bagi semua pihak, kerjasama antar daerah yang sejauh ini telah
berkembang, perlu ditingkatkan kinerjanya, khususnya dalam bentuk
kerjasama-kerjasama regional yang bersifat win-win solution. Upaya Gubernur DKI
Jakarta Joko Widodo untuk mengajak pimpinan daerah di wilayah Jabodetabek
adalah contoh yang baik dari upaya semacam ini.
2.
Berkembangnya ekonomi pasar dan globalisasi informasi, telah menjadikan
masyarakat, terutama kelas menengah di daerah perkotaan semakin kritis terhadap
berbagai isu social, politik dan lingkungan yang jika tidak diatasi akan membahayakan
bagi kelangsungan hidup mereka dan generasi yang akan datang. Berbagai gerakan
social masyarakat telah tumbuh menjamur di berbagai kota di Indonesia. Sekedar
sebagai contoh, hampir disetiap kota besar selalu diberlakukan “car free day” yang memperlihatkan mulai
tumbuhnya tentang kesadaran dan tuntutan warga kota akan lingkungan hidup
perkotaan yang sehat. Komunikasi antara pemerintah kota, pihak swasta dan
berbagai forum wargakota sudah saatnya dibuka dan dicari mekanisme yang paling
efektif untuk mencari solusi-solusi alternatif secara bersama, dari berbagai
problem perkotaan sebagai dampak kebijakan masa lalu dan antisipasi kedepan
sebagai dampak dari berbagai perubahan yang akan terjadi
(Saputra, 2013).