Indonesia dengan kondisi
geografis berupa kepulauan, membuat pembangunan wilayah pesisir menjadi sangat
penting dan strategis. Menurut UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
menetapkan bahwa yang disebut dengan wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara
ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut. Definisi
ini menunjukkan bahwa wilayah pesisir adalah wilayah daratan yang berbatasan langsung
dengan laut maupun wilayah yang terdapat perubahan antara laut dan daratan seperti
wilayah tambak dan lain sebagainya. Wilayah pesisir menjadi suatu hal yang
strategis berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah termasuk peningkatan
pemanfaatan serta pelestarian lingkungan wilayah pesisir. Sebagaimana diketahui
bahwa wilayah-wilayah pesisir pada umumnya juga dihuni oleh penduduk yang
bermata pencaharian sebagai nelayan maupun pelaku pemanfaatan laut dan darat
sekaligus. UU ini juga menetapkan bahwa wilayah pesisir ini mencakup wilayah
administrasi daratan dan ke arah perairan laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis
pantai ke arah laut lepas atau ke arah perairan kepulauan.
Menurut Direktorat
Pemaduan Kebijakan Pengendalian Penduduk BKKBN (2015) wilayah pesisir di Indonesia
cenderung mengalami masalah-masalah seperti: 1) tingkat kemiskinan penduduk pesisir
yang tinggi, dimana data tahun 2010 kemiskinan di desa-desa pesisir mencapai 7
juta jiwa yang terdapat di 10.639 desa pesisir 2) tingginya kerusakan sumber
daya pesisir baik karena abrasi maupun karena ulah manusia, 3) rendahnya kemandirian
organisasi sosial masyarakat dan lunturnya nilai-nilai budaya lokal, 4) infrastruktur
dan kesehatan lingkungan pemukiman sangat minim. Selain keempat masalah ini
wilayah pesisir sangat rentan terhadap bencana alam seperti tsunami dan
perubahan iklim yang cukup tinggi akibat perubahan suhu yang terjadi. Kemiskinan yang tinggi disebabkan oleh karena masyarakat
pesisir yang bekerja sebagai nelayan memiliki keterbatasan baik dari sisi
modal, sarana dan prasarana dan masih melakukan perikanan tangkap secara
tradisional. Selain itu di wilayah pesisir juga terlibat dengan jaringan
ekonomi yang dimulai dari pemilik modal (tauke), nelayan, tengkulak dan lain sebagainya.
Kondisi ini juga diperparah dengan mahalnya harga BBM sebagai bahan bakar yang
digunakan untuk melaut. Kemiskinan ini juga dipengaruhi oleh minimnya infrastruktur
baik infrastruktur sosial, ekonomi maupun transportasi.
Pada tahun 2015-2035
Indonesia akan mengalami bonus demografi (Adioetomo, 2014). Bonus demografi
adalah menurunnya rasio ketergantungan hasil dari penurunan fertilitas dalam jangka
panjang yang dapat menjadi peluang pada pertumbuhan ekonomi (Direktorat
Pemaduan Kebijakan Pengendalian Penduduk BKKBN, 2015). Peluang bonus demografi harusnya
dapat dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia dimanapun berada
untuk peningkatan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan penduduk. Hal ini
mengingat wilayah pesisir pada umumnya merupakan daerah yang tertinggal karena
kondisinya cenderung miskin, tingkat pendidikan rendah dan sarana serta
prasarana yang kurang memadai. Namun demikian wilayah pesisir memiliki banyak
potensi yang bisa dikembangkan. Perhatian pemerintah pada pembangunan wilayah
pesisir tertuang dalam kebijakan pengembangan maritim dan kelautan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. BKKBN turut berkomitmen
dalam pembangunan wilayah pesisir melalui peningkatan akses pelayanan keluarga
berencana dan keluarga sejahtera bagi masyarakat di wilayah pesisir.
Bonus demografi dapat dimanfaatkan
apabila memenuhi kondisi sebagai berikut: peluang kerja yang banyak dan penduduk
produktif yang berkualitas. Dengan adanya persaingan dengan masyarakat ekonomi
asean (MEA) diharapkan peluang kerja keluar negeri semakin banyak, dan penduduk
produktif juga semakin banyak. Bagaimana dengan daerah pesisir? Apakah mereka mempunyai
peluang bonus demografi yang sama dengan daerah non pesisir? Selama ini belum
ada data tentang tentang trend angka beban ketergantungan di tiap kabupaten/kota
dan proyeksinya di kabupaten/kota pesisir. Data Proyeksi penduduk 2010-2035, menunjukkan
bahwa angka beban ketergantungan di provinsi-provinsi terpilih, telah menujukkan
penurunan seperti di Maluku, Papua Barat, Kepulauan Riau dan Papua telah
menunjukkan penurunan. Meskipun demikian untuk DKI Jakarta, dan Kepulauan Riau sudah
mengalami masa bonus demografi, dengan angka beban ketergantungan di bawah 50
%. Sementara itu Papua Barat dan Papua sudah mulai memasuki masa bonus
demografi pada tahun 2015 dan akan berlangsung hingga tahun 2035 lebih. Untuk Provinsi
Maluku justru belum memasuki masa bonus demografi sampai akhir tahun 2035 (Direktorat
Pemaduan Kebijakan Pengendalian Penduduk BKKBN, 2015).
Melihat perbedaan
tersebut, jelas provinsi
terpilih seharusnya sudah
mulai melakukan upaya untuk
meningkatkan kualitas SDM
selain juga meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Papua
dan Papua Barat
merupakan 2 provinsi
penyumbang ekonomi yang
cukup besar di Indonesia, namun kedua
wilayah ini justru
mengalami ketertinggalan di
berbagai bidang. Apabila hal
ini tidak segera
diatasi maka penduduk
kedua provinsi ini
akan mengalami bencana demografi,
karena tidak dapat
memanfaatkan bonus demografi. Semakin lama
jumlah penduduk lansia
akan meningkat di
wilayah ini dan
memperbesar angka beban ketergantungan. Apalagi
wilayah kabupaten pesisir
di kedua provinsi ini,
juga memperlihatkan kondisi yang tidak lebih baik dibanding
kabupaten/kota non pesisir lainnya. Sementara
untuk Kepulauan Riau
dan DKI Jakarta
yang telah memasuki
bonus demografi harus berpacu
dengan waktu agar
bonus ini tidak
lewat tanpa dimanfaatkan
secara maksimal. Sementara Provinsi Maluku sudah harus menyusun berbagai
kebijakan, program dan kegiatan yang berkaitan dengan
peningkatan kualitas SDM
di wilayah ini,
agar dapat berperan penuh dalam
memanfaatkan bonus demografi (Direktorat Pemaduan Kebijakan Pengendalian
Penduduk BKKBN, 2015).
Jika diperhatikan
angka beban ketergantungan tiap
kabupaten/kota pesisir pada
tahun 2012, terlihat bahwa
Kabupaten Bintan, Lingga
dan Anambas belum
memasuki era bonus demografi pada tahun
2015. Oleh sebab
itu ketiga kabupaten
ini sudah harus mempunyai suatu
upaya untuk meningkatkan
kualitas SDM baik
dari pendidikan dan ketrampilan, kesiapan kerja dan kesehatan
sejak usia dini hingga siap masuk ke pasar kerja. Hal yang
sama juga untuk
Kabupaten Kepulauan Seribu
di DKI Jakarta
dan Kabupaten Kepulauan Aru
di Maluku. Sedangkan
di Kabupaten Supiori
dan Raja Ampat
justru telah memasuki masa bonus
demografi.
Beberapa hal
yang harus dilakukan
oleh pemerintah kabupaten
pesisir tersebut adalah mulai
melakukan pemetaan kondisi
sosial ekonomi penduduk
untuk menyusun program peningkatan kualitas
SDM, melalui pendekatan life cycle approach yaitu penanganan
sejak dalam kandungan hingga bayi balita, remaja, dewasa dan lansia. Membangun desa
berwawaskan kependudukan yang
dapat digunakan sebagai wahana mendorong
peningkatan pelayanan kebutuhan
dasar yang dilakukan
oleh pemerintah kabupaten/kota pesisir. Mendorong pemerintah
daerah untuk menyusun
program dan kegiatan
yang mendorong peningkatan kualitas
SDM melalui pendekatan cycle approach untuk mengisi
masa bonus demografi.
Karena bonus demografi
tengah berlangsung maka
peningkatan gizi masyarakat
dan status kesehatan
perlu terus didorong,
dan pendidikan yang berbasis pada ketrampilan. Mendorong pemerintah
pusat untuk mengurangi
keterisolasian wilayah Indonesia
bagian timur termasuk
Papua, Papua Barat,
Maluku dan Maluku
Utara untuk meningkatkan
peningkatan pemerataan pertumbuhan ekonomi.