Berbicara tentang kependudukan
memang sangat kompleks dan tidak akan ada habisnya. Kependudukan membahas
mengenai masalah jumlah penduduk yang terus bertambah yang tentunya terkait
dengan perilaku, lingkungan, sosial masyarakat dan budaya. Tingginya jumlah penduduk juga akan berpengaruh
terhadap meningkatnya jumlah kebutuhan penduduk yang menjadi tanggungan negara.
Persoalan keluarga berencana
merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh negara-negara besar yang
memiliki jumlah penduduk yang sangat padat, dan untuk Indonesia sendiri
menempati urutan ke 4 setelah China, India dan Amerika Serikat. Jumlah penduduk
indonesia berdasarkan proyeksi data penduduk tahun 2010 menurut badan pusat
statistik (BPS) indonesia, jumlah penduduk indonesia di tahun 2015 mencapai
255.461 ribu jiwa. Ternyata dari jumlah tersebut, sepertiganya adalah penduduk
remaja yang berusia 10-24 tahun. Melihat hal ini kita bangsa indonesia harus
bersiap-siap untuk menghadapi bonus demografi di tahun 2030.
Bonus demografi adalah keuntungan ekonomis
yang disebabkan oleh menurunnya rasio ketergantungan sebagai hasil penurunan fertilitas jangka panjang. Bonus Demografi terjadi karena penurunan kelahiran
yang dalam
jangka
panjang
menurunkan
proporsi
penduduk
muda
sehingga
investasi
untuk
pemenuhan
kebutuhannya
berkurang
dan
sumber
daya
dapat
dialihkan
kegunaannya
untuk
memacu
pertumbuhan
ekonomi
dan
peningkatan
kesejahteraan
keluarga.
Negara harus
serius melihat dampak dari bonus demografi ini, akankah benar-benar menjadi
keuntungan bagi negara atau malah menjadi bencana demografi.
Dominasi jumlah remaja ini tentunya
juga dikuti dengan masalah-masalah terkait dengan remaja, diantaranya yang
terangkung dalam triad kesehatan reproduksi remaja (KRR) yaitu seksualitas,
napza (narkotika, psikotropika dan zat adiktif) dan HIV/AIDS. Masalah yang
paling besar dialami oleh remaja indonesia saat ini adalah pernikahan usia
dini. Data Riset Kesehatan Dasar 2010 menunjukkan, angka pernikahan usia dini
(19 tahun ke bawah) 46,7 persen. Bahkan, perkawinan di kelompok umur 10-14
tahun hampir 5 persen. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012
menyebutkan, 12,8 persen perempuan usia 15-19 tahun sudah menikah. Pernikahan
remaja terbanyak terjadi di pedesaan pada perempuan berstatus pendidikan rendah
dan berasal dari keluarga berstatus ekonomi rendah (health.kompas.com). Hasil
SDKI 2012 menyebutkan di perkotaan terdata dari 1.000 orang remaja usia 15-19
tahun, 48 orang diantaranya sudah melahirkan. Sementara di pedesaan, dari 1.000
remaja usia 15-19 tahun, ada 60 orang yang sudah memiliki anak (lampung.tribunnews.com).
Hal ini disebabkan oleh maraknya
seks bebas dikalangan remaja yang dilatarbelakangi rasa ingin tahu. Apalagi di
jaman modern ini, semua bisa di akses dengan mudah di internet, termasuk video
porno yang bisa merangsang gairang untuk melakukan seks bebas. Sehingga mereka
akan mencoba-coba melakukannya untuk kesenangan tanpa memikirkan hal yang dapat
terjadi. Kemudian mereka menikah tanpa memikirkan apa yang akan dilakukan
setelah menikah dan dimana meraka akan bekerja untuk biaya hidup.
Dampak dari pernikahan usia dini
sangatlah banyak. Hal yang paling sering terjadi ialah kekerasan dalam rumah
tangga akibat dari kurangnya kesiapan mental dan sosial dari remaja untuk
menjadi orang tua dan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Selain itu bahaya juga
sedang mengintai calon ibu dan bayinya. Pada masa hamil dapat terjadi keguguran
karena kondisi rahim yang belum siap sebagai tempat berkembangnya janin.
Disamping itu resiko bayi lahir dengan berat badan rendah sampai kecacatan
cukup tinggi. Pada saat persalinan dapat terjadi perdarahan dan tak jarang
terjadi kematian ibu. Setelah bersalin ibu dapat mengalami depresi postpartum
karena di usia yang masih muda sudah harus mengurusi bayi dan melakukan
pekerjaan rumah.
Sering terjadi di masyarakat,
pasangan yang menikah muda cenderung belum memiliki pengetahuan mengenai
keluarga berencana. Sehingga tak jarang seorang ibu usia 25 tahun sudah
memiliki 3 anak dan bahkan di pedesaan ada yang sedang mengandung anak ke empatnya.
Hal ini terjadi karena memang dari pemahaman masyarakat belum cukup mengenai
bagaimana untuk merencanakan keluarga yang sehat.
Kejadian-kejadian seperti inilah
yang akan berdampak besar pada pemerintahan. Disamping itu pernikahan dini
merupakan salah satu penyumbang angka peningkatan pertumbuhan penduduk di
Indonesia, karena mereka telah menambah jumlah penduduk dari usia muda
bayangkan jika anak mereka juga menikah muda, akan berapa persen peningkatan
pertumbuhan penduduk yang terjadi di tahun 2030. Selain itu angka
ketergantungan meningkat sehingga negara harus mengeluarkan uang untuk membantu
masyarakat. Seharusnya dengan adanya bonus demografi, jumlah masyarakat
produktif lebih banyak sehingga akan berdampak positif terhadap negara.
Banyak upaya yang telah dilakukan
oleh BKKBN untuk menangani masalah kependudukan. Pada penduduk remaja, program
yang digalakkan adalah program generasi berencana (genre) yaitu dengan
pendewasaan usia perkawinan. Dimana usia sehat menurut BKKBN untuk menikah
adalah minimal 21 tahun untuk perempuan dan minimal 25 tahun untuk laki-laki.
Pada usia 21 tahun organ reproduksi remaja putri sudah berkembang optimal,
sehingga sudah siap sebagai tempat perkembangan janin dan siap untuk menjadi
seorang ibu. Sedangkan di usia 25 tahun seorang laki-laki dianggap sudah matang
dari segi fisik, mental dan sosial untuk menjadi kepala rumah tangga. Oleh
karena itu, marilah kita bersama-sama mensukseskan program genre karena remaja
merupakan aset negara generasi penerus bangsa. Siapkan remaja untuk menghadapi
bonus demografi dengan membekali mereka pengetahuan dan pendidikan karakter.
Bila kualitas remaja rendah maka negara tidak akan dapat menjadi negara yang
maju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar